Angan Semu

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ




“Angan Semu”

Setelah jutaan menit kita lewati, ribuan hari kita temui, puluhan tahun kita lalui, aku rela melepasmu pergi dari pandangan kedua mata ini untuk selamanya. Malam ini adalah malam terakhir ku dapat melihatmu sebelum dirimu pergi meninggalkanku di rumah ini seorang diri menuju kedamaian bersama bumi. Di tengah hujan yang seakan-akan menjemputmu, ingin ku ucapkan kalimat perpisahanku padamu. Kumohon dengarkanlah wahai cintaku.
“Sayang, mungkin ragamu kini telah pergi, namun kenanganmu selalu ada di palung hatiku sebagai cintaku yang abadi.”
“Ingatkah kau saat pertama kita bertemu yang menjadi awal ku jatuh cinta padamu?“
Masa itu di kala senja sepulang sekolah. Ketika ku sedang menunggu seorang teman di bangku koridor kelas. Kau panggil namaku dari kejauhan lalu datang kepadaku. Kau menawarkanku sebuah makaroni yang sebelumnya kukira itu hanyalah cuma-cuma, namun ternyata kau sedang menjualnya. Kita bercakap-cakap kecil selagi kutunggu temanku. Kemudian kau berikan senyum termanis yang pernah kulihat seumur hidupku di saat kita berpisah setelah teman yang kutunggu itu datang. Dari sejak saat itu, senyummu tak bisa lepas dari lamunanku.
Setiap hari setelah perjumpaan itu, ku sengaja membeli makaroni buatanmu hanya untuk bisa kudapatkan alasan untuk berjumpa denganmu.
Ku dengar kabar dari sahabatmu bahwa kau sebentar lagi akan bertambah umur. Ku rela habiskan uang kumpulan sisa uang bekalku setiap hari untuk membelikanmu sebuah kerudung sebagai pemberian dariku untuk hadiah ulang tahunmu. Ku belikan yang warna biru, warna kesukaanmu. Ku bungkus dengan rapih lalu kumasukkan kedalam sebuah kotak agar terlihat lebih menawan.
Di dalam kotak itu, ku selipkan secarik kertas di bawah kerudung yang telah ku beli. Ku tuangkan isi hatiku ke dalam kertas tersebut. Dengan penuh perasaan, telah ku tulis sebuah kalimat “Thbrho rhb tluqhkp rlrhzpo zlopkbw zlthaprb?“. Ku memang berniat membuatnya menjadi sebuah kode layaknya sebuah rahasia besar yang sangat penting supaya kau dapat merasakannya menjadi lebih sakral. Tak lupa pula ku cantumkan angka tujuh dan sebuah tanda panah ke kanan agar engkau dapat mengerti apa maksudnya. Ku yakin ini terlalu mudah bagi seseorang seperti dirimu, kekasihku.
Hari ulang tahun pun tiba. Ku tak sabar menunggu bel istirahat berbunyi.
Setelah bel akhirnya berbunyi tanda waktu istirahat dimulai, ku lekas pergi menuju kantin dan menanti engkau tiba. Setelah beberapa menit akhirnya ku lihat engkau datang. Kemudian ku langsung berikan kotak itu padamu. “Apa ini?“ engkau bilang. “Buka aja.“ Jawabku. Lalu engkau beri senyum sedih bercampur senang kepadaku. Niscaya tak akan pernah ku lupakan peristiwa itu hingga tanah bersatu dengan ragaku.
“Ternyata kemarin kamu tiba-tiba menelepon aku, kemudian menanyakan padaku apakah aku lebih suka awan, laut, gunung, siang, atau malam, lalu ku jawab laut, itu artinya warna kerudungnya?“
“Hehe, suka ngga?“
“Suka banget, bolehkah ku coba sekarang?“
“Nanti aja, jam delapan malam, ku tunggu sms darimu tentang isi di dalam kotak itu.“
Setelah sepuluh jam berlalu.
“Zzzzzt.“
Suara pesan masuk dari telepon genggamku. Dengan sekejap ku langsung membuka pesan tersebut.
Hanyalah kalimat ini yang kuinginkan seumur hidupku. Sekarang tak ada apapun lagi yang ku inginkan selamanya, walau yang ku terima hanyalah tiga kata darimu. Senang layaknya seseorang yang mencium air hujan setelah berhari-hari berjalan di atas gurun pasir sahara yang teramat gersang, begitulah diriku saat ku menerima pesan “Iya, aku mau.“.
Waktu memang berlalu begitu cepat, hingga akhirnya tak terasa sampailah kita menemui saat-saat seperti ini.
“Ingatkah engkau ketika kita pertama kali berbulan madu, berdua di pesisir pantai pangandaran?“
Kita melihat air laut yang jernih, tebing yang curam, karang yang karam, dan menikmati turun naiknya ombak dari atas perahu menuju pasir putih.
“Yang, kamu kenapa kok mukanya jadi pucat begitu?“ tanyaku. “Gak mabuk laut kan?“
“Sedikit,“ jawabmu dengan tawa kecil mengikuti.
Berjalan perlahan menyusuri pantai, sembari mengamati matahari yang kian lama semakin memerah layaknya pipi di wajahmu. Kita bercengkerama dengan diiringi suara gemericik ombak yang datang dari laut. Angin yang berhembus perlahan meniup lembut kerudung birumu, pemberianku disaat ulang tahunmu. Langit sore yang indah masih belum mampu menandingi cantiknya dirimu.
Di antara waktu, ku sempat bertanya kepadamu.
“Yang, mengapa engkau mau menerima lelaki seperti diriku?“
“yang wajahnya biasa-biasa saja dan juga tidak kaya,“ ku tambahkan.
Lalu kau buat hatiku luluh dengan jawaban darimu.
“Kau tahu sayangku, harta dan paras wajah mudah untuk dicari, tapi kesetiaan susah untuk dicari.“
Akankah diriku tahu pada saat itu bahwa akhirnya semuanya akan menjadi seperti ini? Kala itu ku hanya memohon agar waktu janganlah cepat berlalu karena ku tahu seberapapun panjangnya waktu kau selalu setia berada di sisiku. Terima kasih Tuhan telah mengabulkan impianku selama ini. Jika memang Kau sayang, tentu wajarlah Kau ingin bertemu dengannya.
“Ingatkah kau di sana tentang semua ini?“
“Kumohon janganlah lupakan kisah cinta kita yang dilandasi dengan iman dan kesetiaan yang telah kita buat bersama selama ini.“
Tak terbayang bagi diriku betapa besarnya upayamu membawa bayiku setiap waktu. Selama sembilan bulan, demi diriku engkau berkorban. Hingga engkau tak dapat tidur semalaman akibat rasa sakit yang engkau tahan.
Ku selalu ingat, engkau bawakan aku makanan buatanmu. Lalu kita makan bersama di bawah sinar bulan. Padahal tanpa bulan pun, dunia sudah terang dengan adanya dirimu.
Tak bosan-bosannya engkau mendengar suaraku, ucapanku, tawaku, pesanku, dan segala keluh kesahku. Tak bosan-bosannya pula kau bertemu denganku, melihat wajahku, memberikan senyum padaku, merawatku, dan menjagaku selama ini. Tak tahukah kau betapa bersyukurnya diriku memilikimu.
Memang benar, waktu 20 menit sendiri terasa lebih lama dibanding dua jam bersama seseorang yang kita cintai. Tak terasa sudah puluhan tahun lamanya kita mengarungi arus kehidupan bersama. Kurasa kita baru bertemu di sekolah kemarin.
Setelah sekian lama diriku hidup di dunia ini, tak ada yang lebih menyakitkan selain perihal kehilangan. Ribuan tetes air mata mengalir tak akan bisa membawamu kembali ke hadapanku dan jutaan cahaya rembulan pun tak akan dapat menggantikan satu senyum darimu.
Tak satupun jiwa dapat bebas dari kematian. Kita semua memang terlahir dengan terbelenggu. Tak lama lagi ku pasti kan menyusul bersamamu di sana. Tak ada yang abadi di dunia ini dan dunia ini pun tidaklah abadi. Kuharap kita kan disatukan kembali di alam selanjutnya nanti.
“Terima kasih banyak sayangku atas waktumu, senyummu, kecupanmu, pelukanmu, hangatmu, tawamu, sedihmu, ceriamu, marahmu, hadirmu, kepercayaanmu padaku, kesetiaanmu dan cintamu selama ini.“
“Selamat tinggal sayangku, semoga kau tenang di alam sana.“
“Izinkan aku tuk mencintaimu selama kau tak ad...“
*

“Zzzzzt.”
Suara pesan masuk dari telepon genggam.
“Akhirnya yang kutunggu-tunggu dari tadi datang juga...”
“Prak!“
Sebuah telepon genggam terlempar yang sedang menampilkan sebuah pesan.
“Maaf, tapi aku sudah menjadi kekasih seseorang.”.


Oleh : Rin
Jeddah, 9 Februari 2018


Baca Juga :
- Lebih Dari Suka, Aku Cinta Belajar [Part 1]
- Lebih Dari Suka, Aku Cinta Belajar [Part 2]
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Kommentare