Lebih Dari Suka, Aku Cinta Belajar [Part 1]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Karya : Meika Sugastiana Putri

Lebih Dari Suka, Aku Cinta Belajar

“Ren, lo ikut lomba olimpiade Matematika kan?“ tanya Wendy kepada Irene yang sedang sibuk dengan ponselnya. Irene Iriana, siswi SMA Melati yang terkenal pintar di kelasnya. Dia pintar dan juga punya wajah yang cantik.
“Males, sih,“ jawab Irene acuh tak acuh.
“Ikut aja kali, lagian lo pasti menang. Di kelas ini yang ikut cuma Henri kok. Di kelas sebelah ada Yeri sih. Yeri yang kemana-mana suka bawa buku itu loh. Mending lo ikut aja deh.“ Wendi menyarankan. Irene sudah pernah mendengar nama Yeri. Dia adalah anak kelas XI IPA B yang kemanapun dia pergi, pasti ada sebuah buku berada dalam genggaman tangannya. Entah itu adalah novel, kamus, ataupun buku pelajaran. Beberapa orang bilang kalau Yeri itu sebenarnya bukanlah seseorang yang pintar. Dia lebih pantas disebut pintar mengerjakan tugas sekolah karena tidak pernah dalam hidupnya dia tidak mengerjakan PR. Bila di dalam kelas, kepintaran Yeri tampak biasa saja.
“Emang lombanya kapan?“ Tanya Irene sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Kalau nggak salah tanggal...“
“Irene!“ Dengan tiba-tiba seseorang memanggil nama Irene kemudian Irene pun menoleh menuju arah suara. Dilihatnya Bu Sinta yang tersenyum ramah kepadanya.
“Iya bu?“ Irene bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Bu Sinta. Bu Sinta, kalau diadakan survey dari 1000 siswa di sekolah tentang siapa Ibu guru paling cantik SMA Melati, maka pastilah 995 murid menjawab Bu Sinta yang tercantik. Berbeda dengan 5 murid lainnya. Karena mereka sama-sama punya ibu yang juga jadi guru di SMA Melati.
“Irene, sudah tau tentang lomba olimpiade kan?“ Tanya Bu Sinta sembari memandang wajah Irene dengan senyumnya yang selalu manis. Irene tahu kemana acah pembicaraan ini.
“Iya bu, sudah.“ Irene menjawab lalu memandang ke arah sepatunya.
“Jadi?“ satu kata dengan tanda tanya di akhirnya membuat Irene menjadi kebingungan harus menjawab apa.
“Hehehe, jadi gimana bu maksudnya?“ Irene menyengir layaknya anak kecil yang ketahuan mengompol.
“Kamu ikut kan?” Ibu Sinta langsung menembak.
Sebenarnya Irene cukup percaya diri untuk mengikuti lomba ini, tapi dia hanya terlalu malas untuk melakukannya.
“Belum tahu nih bu.“
“Irene ikut saja ya, ibu yakin kamu pasti bisa jadi perwakilan yang hebat untuk sekolah kita. Ibu yakin kamu bisa lolos sampai tahap final se-kabupaten.“
“Bahkan ibu yakin, kamu akan menang lomba olimpiade se-kabupaten ini.“ Kata Bu Sinta melanjutkan.
“Baik bu. Irene akan ikut lomba ini.“ Bu Sinta pun tersenyum.
“Iya sudah. Pendaftarannya dikumpulkan nanti siang ya. Untuk seleksi tahap 1, akan dilaksanakan besok lusa.” Bu Sinta memberikan informasi. Irene mengangguk dan Ibu Sinta pun berlalu pergi.
Irene kembali menghampiri Wendy dengan wajah yang tidak bisa Wendy tebak. “Jadi?“ tanya Wendy dengan spontan, karena dia bisa menebak apa yang dibicarakan Irene dengan Bu Sinta tadi. Mendengar pertanyaan Wendy, Irene memutarkan pandangan matanya.
“Sama aja ya, lo kaya Bu Sinta. Bedanya, Bu Sinta cantik dan baik hati.“
“Gue juga cantik kali. Baik? Iyalah. Kalau nggak, mustahil kemarin gue rela-relain antar buku diary kesayangan lo ke rumah lo yang lebih jauh dari jarak rumah gue ke sekolah.“ Irene sontak tertawa mendengar jawaban dari Wendy.
“Hahaha, iya deh Wen. Lo emang paling baik. Untuk pertanyaan tadi, jawabannya adalah gue ikut,” jawab Irene. Wendy pun tersenyum seperti Bu Sinta.
“Gue dukung!” Kata Wendy penuh semangat.
Hari seleksi tahap 1 pun tiba. Kemarin, Irene tidak belajar sama sekali karena tidak ada PR. Untuk olimpiade pun tidak, karena dia percaya diri dengan fakta bahwa nilai matematikanya yang tidak pernah di bawah angka delapan puluh. Pukul 02:15 siang, bel pulang pun berbunyi. Ada waktu 45 menit sebelum seleksi olimpiade dimulai.
“Irene, gue pulang dulu ya. Semoga lo bisa sukses mengerjakannya.“ Irene pun tersenyum lalu mengangguk mendengar kalimat semangat dari Wendy.
Saat hendak keluar kelas, Irene berpapasan dengan Henri.
“Ren, ikut olimpiade kan?“ tanya Henri dan Irene pun mengangguk.
“Persiapan lo pasti udah matang ya?“ Henri menebak.
“Engga juga sih.” Henri mengangguk, mengerti dengan jawaban Irene.
Henri tahu kalau Irene tidak perlu belajar untuk mengikuti lomba seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang harus belajar mati-matian kalau ingin lolos tahap seleksi.
“Iya udah, sampai ketemu nanti,“ Henri pamit lalu pergi.
Pukul 03:00 Siang dan ini adalah waktunya untuk seleksi. Irene memasuki kelas ruang 14 dan dilihatnya beberapa orang yang dia kenal. Ada Henri, Adit, Kasih dan juga Yeri. Sisanya Irene tidak kenal nama mereka.
Setelah dibacakan instruksi dan mengisi absen, pengawas pun mempersilahkan untuk mulai mengerjakan soal. Ini adalah kali pertama Irene merasa gugup dan bingung. Tidak pernah sebelumnya ia merasa asing dengan angka. Irene tidak tahu bagaimana cara mengerjakan soal no 1, 2 dan 3. Irene melihat sekeliling dan mendapati beberapa temannya mulai menggores penanya di atas kertas. Dilihatnya Henri mengerjakan dengan tenang.  Irene menelan ludah. Dia membolak-balikkan kertas dan mulai mencari soal yang sekiranya mudah untuk dikerjakan.
Berbagai rumus yang dia tahu dia terapkan semua, namun tak ada satupun jawaban yang membuatnya yakin.
“Tenang Irene, lo kerjakan sebisa lo dengan rumus seadanya. Teman-teman lo yang lain juga gak akan mampu menjawab soal sesulit ini. Apapun yang lo tulis akan mendapat nilai kok.“ Irene membatin, mencoba menenangkan dirinya. Dua jam kemudian, pengawas pun menyuruh peserta untuk peserta untuk mengumpulkan. Untuk kali pertama ini, Irene mengumpulkan jawaban dengan ragu.  Sekilas, dia melihat jawaban Yeri yang terlihat penuh. Matanya membelalak tidak percaya. Yang dia tahu, Yeri adalah siswi biasa yang hanya seorang kutu buku. Di kelasnya pun ia tidak pernah masuk peringkat 3 besar seperti Irene.
Sesaat setelah keluar dari ruangan tersebut, Irene menghampiri Henri.
“Hen, bisa ngerjain semuanya?“ tanya Irene penasaran.
“Enggak,” Irene lega mendengar jawaban Henri.
“Tapi, sekitar tiga perempat soal bisa gue kerjain,” Irene langsung menohok.
“Tiga perempat?” Tanya Irene tidak percaya. Matanya membulat.
“Iya, kalau lo pasti bisa semuanya ya.” Henri menebak. Lagi-lagi tebakan Henri salah besar. Untuk mengatakan satu perempat saja adalah suatu kebohongan bagi Irene.
“Hehehe,“ Irene hanya menyengir untuk menutupi rasa malunya.
Sesampainya di rumah, Irene tidak mau berpikir banyak. Masih ada harapan besar untuk lolos tahap seleksi. Irene pun menghempaskan dirinya ke atas kasur dan beristirahat.


Baca Juga :
- Lebih Dari Suka, Aku Cinta Belajar [Part 2]
- Angan Semu

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Kommentare